Pamali: Horor Indonesia yang Mengangkat Kearifan Lokal

Industri film horor Indonesia dalam beberapa tahun terakhir semakin berkembang pesat. Tidak hanya sekadar menampilkan jumpscare atau sosok menyeramkan, banyak sineas tanah air yang mulai menggali akar budaya, mitos, serta kepercayaan masyarakat lokal untuk dijadikan dasar cerita. Salah satu film yang menarik perhatian publik karena pendekatannya yang unik adalah Pamali. Film ini bukan hanya menakutkan, tetapi juga sarat makna, karena mengangkat larangan-larangan tradisional yang dipercaya masyarakat Jawa sebagai sesuatu yang tabu untuk dilanggar HONDA138.

Latar Belakang Film

Film Pamali dirilis pada tahun 2022 dan disutradarai oleh Bobby Prasetyo. Ceritanya diadaptasi dari gim horor populer berjudul Pamali: Indonesian Folklore Horror yang dikembangkan oleh StoryTale Studios. Popularitas gim tersebut di kalangan pecinta horor mendorong rumah produksi untuk mengangkatnya ke layar lebar.

Istilah pamali sendiri berasal dari bahasa Sunda dan Jawa yang berarti larangan atau pantangan. Dalam budaya lokal, pamali dianggap sebagai aturan tak tertulis yang harus dihormati. Jika dilanggar, diyakini akan membawa kesialan atau bahkan bencana. Inilah yang menjadi inti cerita film tersebut: bagaimana larangan yang dianggap sepele ternyata bisa membawa konsekuensi besar.

Sinopsis Cerita

Film Pamali mengisahkan seorang pria bernama Jaka Sunarya (diperankan oleh Marthino Lio), yang kembali ke kampung halamannya setelah lama merantau. Ia pulang ke rumah tua peninggalan orang tuanya bersama sang istri, Rika (diperankan oleh Putri Ayudya). Rumah itu rencananya akan dijual, karena mereka membutuhkan uang untuk melanjutkan kehidupan di kota.

Namun, sejak pertama kali menginjakkan kaki di rumah tersebut, berbagai hal ganjil mulai terjadi. Jaka tidak terlalu menggubris, tetapi Rika merasa ada sesuatu yang salah. Ketegangan semakin meningkat ketika Jaka mulai melanggar berbagai pamali yang diwariskan leluhurnya. Misalnya, larangan menyapu di malam hari, larangan duduk di atas meja, hingga larangan berkata sompral di tempat keramat.

Setiap larangan yang dilanggar membawa akibat yang menyeramkan. Gangguan gaib semakin intens, mulai dari suara-suara aneh, penampakan sosok menyeramkan, hingga teror yang mengancam nyawa. Film ini perlahan mengungkap bahwa rumah tua tersebut menyimpan rahasia kelam yang berkaitan dengan masa lalu keluarga Jaka.

Nuansa Horor yang Otentik

Salah satu kekuatan film Pamali adalah keberhasilannya menampilkan suasana horor yang terasa dekat dengan penonton Indonesia. Alih-alih mengadopsi gaya horor Barat, film ini menghadirkan atmosfer mencekam dengan memanfaatkan mitos lokal.

Seting rumah tua di pedesaan Jawa dibuat sedetail mungkin sehingga penonton merasakan kesan autentik. Dari desain interior rumah tradisional, benda-benda kuno, hingga hutan sekitar yang gelap dan sunyi, semuanya mendukung terciptanya nuansa horor yang khas. Penonton seolah diajak masuk ke dalam dunia yang masih kental dengan nilai tradisi dan mistisisme.

Selain itu, penggunaan pamali sebagai inti cerita memberikan daya tarik tersendiri. Banyak penonton yang merasa relate, karena sejak kecil sudah sering mendengar larangan dari orang tua atau kakek-nenek mereka. Film ini seakan menghidupkan kembali memori kolektif tentang kepercayaan lama yang masih melekat hingga kini.

Karakter dan Akting

Marthino Lio berhasil membawakan peran Jaka Sunarya dengan sangat baik. Karakternya yang awalnya skeptis terhadap pamali, kemudian perlahan dihantui rasa bersalah dan ketakutan, ditampilkan dengan meyakinkan. Transformasi emosi Jaka terasa natural sehingga penonton bisa ikut merasakan ketegangannya.

Sementara itu, Putri Ayudya sebagai Rika memberikan keseimbangan dalam cerita. Karakternya digambarkan lebih peka terhadap hal-hal mistis, namun juga tegar dalam menghadapi teror. Chemistry antara keduanya kuat, memperlihatkan dinamika pasangan yang berusaha bertahan dalam situasi mencekam.

Peran pendukung, seperti tetua desa atau warga sekitar, turut memperkuat nuansa lokal dalam film. Kehadiran mereka membuat cerita lebih berlapis dan tidak hanya berfokus pada teror supranatural, tetapi juga pada hubungan sosial serta kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun.

Tema dan Pesan Moral

Di balik teror yang ditampilkan, Pamali sebenarnya menyampaikan pesan moral yang dalam. Film ini menekankan pentingnya menghargai tradisi dan kearifan lokal. Pamali bukan sekadar mitos kosong, tetapi sarat makna, karena di balik larangan itu sering tersimpan nilai-nilai kehidupan, seperti etika, sopan santun, dan penghormatan terhadap lingkungan sekitar.

Misalnya, larangan menyapu di malam hari mungkin bertujuan agar orang tidak mengganggu tetangga dengan suara atau tidak kehilangan barang berharga yang tersapu tanpa sadar. Larangan berkata sompral di tempat keramat bisa dimaknai sebagai bentuk penghormatan terhadap alam dan energi yang ada di sekitarnya.

Film ini juga menyinggung soal hubungan manusia dengan leluhur. Dalam budaya Jawa, menghormati warisan leluhur adalah hal penting. Melanggar pamali sama saja dengan mengabaikan pesan dari generasi terdahulu, dan itu dianggap bisa mendatangkan bencana.

Teknik Sinematografi

Secara teknis, film Pamali menggunakan pendekatan sinematografi yang efektif untuk membangun suasana mencekam. Pencahayaan redup, sudut kamera sempit, penggunaan suara-suara ambient membuat penonton selalu waspada terhadap kemungkinan munculnya gangguan gaib.

Alih-alih mengandalkan jumpscare berlebihan, film ini lebih banyak bermain dengan atmosfer dan ketegangan psikologis. Penonton dibiarkan menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya, rasa takut datang secara alami.

Efek visual digunakan tidak berlebihan. Penampakan makhluk halus ditampilkan seperlunya, sehingga tidak terasa artifisial. Justru ketidaksempurnaan itu membuatnya tampak lebih menyeramkan, karena sesuai dengan bayangan kolektif masyarakat tentang hantu lokal.

Respon Penonton dan Kritik

Sejak dirilis, Pamali mendapat sambutan positif dari pecinta horor Indonesia. Banyak yang memuji keberaniannya mengangkat pamali sebagai tema utama, sesuatu yang jarang diangkat dalam film horor sebelumnya. Penonton merasa film ini segar, karena memberikan pengalaman menonton horor yang berbeda dari biasanya.

Namun, ada juga kritik yang menyebut bahwa alur cerita terasa lambat di beberapa bagian. Beberapa penonton menginginkan teror lebih intens sejak awal, sementara film ini memilih membangun atmosfer secara perlahan. Meski begitu, mayoritas sepakat bahwa pendekatan ini justru membuat klimaksnya terasa lebih kuat.

Peran dalam Perfilman Indonesia

Kehadiran Pamali menjadi bukti bahwa horor Indonesia bisa tampil dengan identitas sendiri tanpa harus meniru formula film luar negeri. Dengan menggali mitos, legenda, dan tradisi lokal, sineas Indonesia dapat menghadirkan karya yang bukan hanya menghibur, tetapi juga mendidik penonton tentang budaya bangsa.

Kesimpulan

Pamali bukan sekadar film horor biasa. Ia adalah cermin budaya yang mengingatkan kita akan pentingnya menghormati tradisi leluhur. Dengan cerita yang kuat, atmosfer menyeramkan, dan pesan moral yang mendalam, film ini berhasil menempatkan dirinya sebagai salah satu horor Indonesia yang layak diperhitungkan.

Lebih dari sekadar menakut-nakuti, Pamali mengajak penonton untuk merenungkan kembali nilai-nilai yang diwariskan dari generasi sebelumnya. Bahwa larangan yang dulu sering kita dengar dari orang tua mungkin bukan sekadar omong kosong, melainkan bentuk kearifan yang relevan hingga kini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *