
Film horor kerap hadir dalam berbagai bentuk. Ada yang menakutkan lewat jumpscare, ada pula yang membangun suasana mencekam melalui misteri dan simbolisme. The Wailing (2016), sebuah film horor asal Korea Selatan yang disutradarai Na Hong-jin, berhasil memadukan keduanya. Film ini tidak hanya menawarkan kengerian melalui penampakan, tetapi juga menghadirkan kisah yang kompleks tentang iman, keputusasaan, serta misteri supernatural yang sulit ditebak hingga akhir.
Dirilis dengan judul asli Goksung—mengambil nama desa tempat cerita berlangsung—film ini segera menarik perhatian dunia. Dengan durasi lebih dari dua setengah jam, The Wailing bukan sekadar horor konvensional, tetapi sebuah karya yang memadukan drama keluarga, thriller kriminal, dan cerita mistis yang kaya simbol HONDA138.
Sinopsis Singkat
Cerita dimulai di desa Goksung, sebuah tempat tenang di pedesaan Korea Selatan. Namun, ketenangan itu hancur ketika serangkaian pembunuhan brutal terjadi. Para pelaku pembunuhan ditemukan dalam keadaan linglung, tubuh mereka dipenuhi luka dan penyakit aneh.
Jong-goo, seorang polisi desa yang canggung dan penakut, ditugaskan menyelidiki kasus tersebut. Awalnya ia menganggap kejadian itu hanyalah akibat jamur beracun atau penyakit menular. Tetapi semakin lama, misteri semakin dalam. Rumor menyebar bahwa seorang pria asing asal Jepang, yang tinggal di hutan sekitar desa, mungkin terlibat dalam serangkaian kejadian aneh itu.
Keadaan semakin mencekam ketika putri Jong-goo sendiri, Hyo-jin, mulai menunjukkan tanda-tanda kerasukan. Putus asa, Jong-goo mencari bantuan seorang dukun (shaman) untuk melakukan ritual pengusiran roh jahat. Namun, ritual itu justru menimbulkan pertanyaan: siapa sebenarnya sumber kejahatan? Apakah orang asing Jepang itu, seorang wanita misterius berpakaian putih, atau ada kekuatan lain yang jauh lebih gelap?
Karakter dan Perannya
1. Jong-goo
Sebagai tokoh utama, Jong-goo adalah sosok polisi biasa yang jauh dari gambaran heroik. Ia canggung, sering panik, bahkan terkadang lucu. Namun, justru karena sifatnya yang manusiawi, penonton bisa merasakan betapa besar rasa putus asa dan ketakutannya ketika anaknya menjadi korban.
2. Hyo-jin
Putri Jong-goo yang kerasukan menjadi pusat konflik emosional film. Perubahan drastis dari anak ceria menjadi sosok penuh amarah menambah lapisan horor psikologis.
3. Orang Asing Jepang
Karakter misterius yang selalu dikelilingi aura menakutkan. Ia digambarkan hidup menyendiri di hutan, memelihara anjing buas, dan sering dikaitkan dengan ritual gelap. Kehadirannya memicu prasangka sekaligus ketakutan warga desa.
4. Wanita Berbaju Putih
Sosok perempuan yang muncul berulang kali di desa. Kadang ia terlihat seperti penolong, kadang seperti penggoda. Ambiguitas karakternya membuat penonton ragu: apakah ia malaikat atau setan?
5. Shaman (Il-gwang)
Seorang dukun yang dipanggil Jong-goo untuk menolong putrinya. Ritual yang ia lakukan spektakuler dan penuh intensitas, namun hasilnya menimbulkan lebih banyak pertanyaan.
Atmosfer Horor
Na Hong-jin membangun horor dengan cara perlahan. Desa Goksung yang awalnya tampak damai perlahan berubah menjadi tempat penuh teror. Penggunaan sinematografi menonjolkan lanskap pedesaan yang indah sekaligus mencekam. Hujan deras, kabut, hutan gelap, dan rumah-rumah sederhana menjadi latar alami yang menambah nuansa horor realistis.
Sound design film ini juga luar biasa. Suara gonggongan anjing, teriakan histeris, hingga irama ritual shaman menciptakan rasa takut yang merasuk. Tidak ada musik berlebihan, hanya suara alam dan ritual yang membuat penonton merasa seolah berada di desa tersebut.
Simbolisme dan Pesan
The Wailing tidak bisa dipahami hanya sebagai kisah horor biasa. Film ini kaya akan simbol yang menyinggung agama, kepercayaan tradisional, hingga prasangka sosial.
- Pertarungan Iman dan Keraguan
Jong-goo terjebak antara kepercayaan sains, ritual tradisional, dan agama Kristen. Film ini menyoroti bagaimana manusia, ketika putus asa, akan mencari pegangan apapun, bahkan jika itu berlawanan. - Prasangka terhadap Orang Asing
Orang Jepang dalam film ini menjadi simbol ketakutan terhadap “yang lain.” Ia dianggap biang keladi hanya karena berbeda asal dan budaya. Film ini menyinggung isu xenofobia yang masih relevan. - Ambiguitas Kebaikan dan Kejahatan
Tidak ada karakter yang sepenuhnya baik atau jahat. Bahkan hingga akhir film, penonton dipaksa bertanya-tanya: siapa sebenarnya iblis, siapa penolong? Ambiguitas ini membuat The Wailing semakin menghantui setelah ditonton.
Adegan Ikonik
Beberapa adegan dalam The Wailing dianggap paling menegangkan dalam sejarah film horor modern:
- Ritual Shaman: Adegan panjang penuh suara drum, tarian, dan teriakan. Intensitasnya begitu tinggi hingga membuat penonton ikut tegang.
- Hyo-jin Kerasukan: Transformasi Hyo-jin dari anak polos menjadi sosok beringas terasa nyata dan menyeramkan.
- Pertemuan di Hutan: Konfrontasi antara Jong-goo dan orang asing Jepang yang dipenuhi simbolisme, membuat penonton sulit menentukan siapa sebenarnya korban dan pelaku.
Perbandingan dengan Horor Asia Lain
Jika The Ring (Jepang) menakuti penonton dengan kutukan teknologi modern, dan The Eye (Hong Kong) menghadirkan horor dari penglihatan, maka The Wailing menakuti dengan suasana pedesaan, kepercayaan rakyat, dan pertarungan iman. Film ini lebih dekat dengan horor psikologis sekaligus religius, yang sering ditemukan dalam tradisi Barat, tetapi dikemas dengan nuansa Asia yang khas.
Reputasi dan Penerimaan
The Wailing mendapat pujian luas dari kritikus internasional. Film ini diputar di Festival Film Cannes 2016 dan dianggap sebagai salah satu film horor terbaik dekade ini. Banyak yang memuji keberanian film ini menghadirkan durasi panjang dengan alur lambat, tetapi tetap menjaga ketegangan hingga akhir.
Secara komersial, film ini juga sukses besar di Korea Selatan, menembus jutaan penonton. Prestasi tersebut membuktikan bahwa horor dengan narasi kompleks tetap bisa diterima publik luas.
Interpretasi Akhir
Salah satu kekuatan The Wailing adalah akhir yang ambigu. Banyak penonton memperdebatkan siapa sebenarnya yang jahat: orang Jepang, wanita berbaju putih, atau bahkan keduanya? Ambiguitas ini membuat film terus dibicarakan dan dianalisis.
Na Hong-jin tampaknya sengaja membiarkan interpretasi terbuka, karena inti dari film ini adalah keraguan manusia. Dalam kondisi putus asa, manusia tidak pernah benar-benar tahu siapa yang bisa dipercaya.
Kesimpulan
The Wailing adalah film horor yang melampaui batas genre. Ia bukan hanya menakutkan, tetapi juga kaya makna. Dengan memadukan misteri, mitologi, simbolisme agama, dan drama keluarga, film ini menghadirkan pengalaman menonton yang mendalam sekaligus menegangkan.
Bagi pecinta horor, The Wailing memberikan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa kaget: ia meninggalkan pertanyaan, ketakutan yang menetap, dan refleksi tentang iman serta kemanusiaan. Tidak berlebihan jika film ini dianggap sebagai salah satu mahakarya horor modern yang layak ditonton berulang kali.